KEPEMIMPINAN YANG MENGHAMBA DARI PERSPEKTIF KEPEMIMPINAN KRISTEN

November 21, 2008

KEPEMIMPINAN YANG MENGHAMBA

DARI PERSPEKTIF KEPEMIMPINAN KRISTEN

Pdt. Dr. John Virgil, D.Th

Email: johnvirgilmart@gmail.com

Website: https://johnvirgilmart.wordpress.com

Matius 20:27

A

pabila kita berbicara tentang kepemimpinan tidak akan pernah ada habisnya. Oleh karena ada ribuan definisi tentang kepemimpinan telah dibuat. Demikian pula ada ratusan buku kepemimpinan telah ditulis. Namun siapakah yang dapat menghayati dan menghidupi ajaran Yesus Kristus, Sang Pemimpin-Hamba yang Sejati itu? “Menjadi pemimpin bukanlah menjadi tuan (lord over) atas orang lain.” “Yang terbesar dari seorang pemimpin bukanlah ketika ia menjalankan kekuasaan (exercise authority) atas orang lain.” Menjadi pemimpin adalah menjadi hamba. Menjadi pemimpin adalah menjadi budak (slaves) atas orang lain. Dan yang terbesar dari seorang pemimpin-hamba adalah ketika ia berhasil melayani dan mau menjadi “jongos” (baca: budak) bagi orang lain. Itu semua adalah definisi kepemimpinan versi Sang Pemimpin-Hamba Sejati. Dan Dia tidak sekedar mendefinisikan, tetapi juga menjadi model yang nyata bagi definisi kepemimpinan tersebut: ”Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan (a ransom) bagi banyak orang.” (Markus 10:45).

 

Dengan demikian ada pertanyaannya bagi kita adalah, mudahkah proses menjadi pemimpin yang menghamba ini? Ah, betapa sulitnya bagi kita yang seringkali masih ego-centrist. Charles R. Swindoll (Improving Your Serve) menggambarkan, betapa manusia seringkali membangun sebuah menara piramida yang dibangun atas dasar ”aku,” ”milikku,” dan ”diriku sendiri.” Semangat kesuksesan demi pemujaan diri masih begitu melekat di dalam diri kita. Bahkan diakui atau tidak, disadari atau tidak, jiwa narsistik (memuja diri sendiri) seringkali menjangkiti banyak orang yang mengaku pengikut Kristus. Untuk itu, jalan memikul salib dan menyangkal diri nampaknya harus menjadi tangga pertama yang harus kita pijak: ”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Lukas 9:23; bdk. Matius 16:24 dan Markus 8:34). Dan jujur saja, menyangkali diri adalah sebuah proses yang harus dilatih.

Apakah ”motivasi kepemimpinan” Yesus, menurut Anda? Apakah agar Ia bisa bergaya, pamer kekuasaan serta unjuk kekuatan? Apakah untuk menunjukkan atau membuktikan ”Who’s the Boss?” – siapa ”boss”, siapa ”jongos”? Sama sekali tidak!” Motivasi kepempimpinan” Yesus adalah justru untuk menyatakan ketaatan-Nya kepada Allah. Untuk mengemban dan melaksanakan kehendak Allah. Untuk mencerminkan kepemimpinan dan otoritas Allah. ”Makanan-Ku,” demikian Ia pernah bersabda, ”ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku, dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” (Yohanes 4:34). ”Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu jadilah”
Sebab itu kita dapat mengatakan, bahwa ”motivasi kepemimpinan” Yesus bersifat ”GOD-ORIENTED”. Artinya: tertuju, terarah, serta terfokus kepada Allah. Dan karena ”God-oriented” inilah, maka – sebagai implikasinya – ”motivasi kepemimpinan” Yesus juga bersifat ”OTHERS-ORIENTED”. Artinya: tertuju, terarah, terfokus kepada orang lain. Mengapa? Sebab seluruh dunia dan segenap umat manusia itulah, orientasi kasih Allah (Yohanes 3:16).

Dengan demikian ”motivasi kepemimpinan” tertentu akan melahirkan ”filsafat kepemimpinan” tertentu pula. Jadi, misalnya, kalau motivasi kepemimpinannya ”SELF-ORIENTED”, atau tertuju hanya kepada kepentingan diri, maka tak sulit diduga, ”filsafat kepemimpinan” macam apa yang akan dilahirkannya. Pasti tidak akan lari jauh dari, katakanlah, filsafat atau prinsip ”Milikmu milikku, tapi milikku milikku”. Maksudnya suatu ”filsafat kepemimpinan” yang berkarakter atau bersifat merampas, memeras, menebas, menggilas. Hal itu sangat mengerikan.

 

Yesus telah mengembangkan “filsafat kepemimpinan”, yang pertama filsafat kepemimpinan “IKUTLAH AKU” dan kedua filsafat kepemimpinan “PERGILAH KAMU”. “IKUTLAH AKU” adalah sapaaan, undangan dan tantangan pertama yang Yesus perhadapkan kepada murid-muridNya dan merupakan pola relasi yang ingin Yesus jalin dengan murid-muridNya. Hal ini berarti mengikuti Dia dengan seluruh kedirian kita, dengan seluruh akan budi kita dan bukan sekedar menganut agama tertentu.
”IKUTLAH AKU”. Di telinga kita, dua kata tersebut pasti terdengar akrab. ”Ikutlah Aku”, adalah sapaan, undangan, dan tantangan pertama yang Yesus perhadapkan kepada murid-murid-Nya.
Lalu ”Ikutlah Aku” merupakan pola-relasi yang ingin Ia jalin dengan mereka. Karena itu, ”Ikutlah Aku” adalah karakteristik, identitas, sebutan setiap murid Yesus—”Kristen” berarti itu.
Tapi mengapa ”mengikut”? Mengapa bukan ”menganut”? Sebab yang Yesus kehendaki dari kita, saudara, bukanlah sekadar ”menganut” agama tertentu.

 

”PERGILAH KAMU”. Hal ini berarti tidak hanya menggerakan orang ke dalam menjadi ”introvert” dan ”egois” tetapi juga memotivasi orang ke luar menjadi ”ekstrovert” dan ”misioner”.

 

Bagaimana gaya kepemimpinan kehambaan Yesus Kristus. Gaya Kepemimpinan Yesus Adalah kepemimpinan hamba. Yesus sebagai pemimpin hamba bertugas sebagai penggerak segala potensi yang ada agar tercapai pengembangan dan perkembangan.

1.   Pengertian Hamba

      Istilah populer yang sering disebut-sebut dalam konteks kepemimpinan hamba maupun dalam kalangan Kristen, yakni hamba TUHAN seringkali disalahartikan. Hal itu terjadi karena hakekat pemahaman dan bentuk pemahaman bertentangan. Sehinggga istilah hamba Tuhan menjadi suatu Honoris Causa (gelar kehormatan) saja bagi kepemimpinan Kristen oleh masyarakat gereja. Istilah hamba TUHAN dalam dunia perjanjian lama memiliki beberapa pengertian dan penggunaannya sebagai berikut:

            Kata Ibraniעבד   “eved”, budak, hamba, pelayan. Kata Yunani δουλος /doulos /doo’-los  memiliki pengertian yang sama. Seorang bekerja untuk keperluan orang lain (G. A. Smith). Ia pekerja yang menjadi milik tuannya (Zimmerli). Di luar Alkitab kata itu berarti budak; hamba yang melayani raja; bawahan dalam politik keterangan tentang diri sendiri untuk menunjukkan kerendahan hati; dan hamba-hamba dalam kuil-kuil kafir (Zimmerli).

         Pengertian hamba Tuhan telah dijelaskan Tuhan Yesus melalui hidup, karya dan kepemimpinan-Nya selama berada di dunia secara nyata. Oleh karena itu, hakekat diri dan kenyataan hamba Tuhan telah digenapi dalam hidup dan kerja Tuhan Yesus, baik didalam kesengsaraan-Nya maupun dalam kemuliaan-Nya. Maksud dan pengertian kepemimpinan hamba (hamba Tuhan), dijelaskan Tuhan Yesus dalam Matius 20:27, sebagai berikut “Dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka diantara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu”. Maksud Yesus dengan pernyataan ini adalah semakin seseorang diberikan kedudukan atau jabatan dalam kepemimpinan semakin ia memimpin dalam kehambaan.  Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pemimpin hamba adalah mereka yang memperhambakan diri dalam kepemimpinannya. Sehubungan dengan hal itu maka Yesus menjelaskan: Demikianlah juga kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan (Lukas 17:10).

            Oleh karena itu, dari pernyataan di atas, maka dapat dikatakan, pemimpin hamba adalah hamba dari pengikutnya. Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa tentang kepemimpinan hamba (Servantship), bersifat horizontal dan vertikal. Secara panggilan pemimpin kristen adalah hamba Tuhan, tetapi secara kepemimpinan ia adalah hamba jemaat (dalam tugas).

Pemimpin gereja kehambaan harus melakukan kepemimpinannya dalam sikap merasa berhutang, sehinggga ia terhindar dari pencarian kehormatan bagi dirinya. Kepemimpinan gereja yang ditandai oleh perilaku kehambaan, adalah bagian integral (keseluruhan) dari tata kerja Kerajaan Sorga.

2.   Pengabdian Sebagai Hamba

Tanggung jawab seorang hamba ialah setia dan dapat dipercayai oleh tuannya. Tanggung jawab seorang pemimpin hamba bagi ialah kesetiaannya kepada Tuhan yang mempercayainya untuk memimpin dan ditandai dengan bukti pegabdian sebagai hamba Tuhan dalam pelayanannya di dalam jemaat. Searah dengan itu Leroy Eims menjelaskan:

      Pemimpin adalah sarana utama yang digunakan Allah untuk menjaga umat-Nya agar tetap bergerak kearah yang benar dan mengerjakan hal yang benar, seorang pemimpin harus berani menghadapi kesulitan dan kritikan.

Tanggung jawab seorang pemimpin kehambaan adalah melalui upaya pengabdiannya menjaga dan mengarahkan jemaat kepada arah yang dikehendaki Allah.

            Mental pengabdian pemimpin kehambaan dalam jemaat bersifat persuasif dan utuh, karena hati yang diabdikan mampu menjalankan kepemimpinan kehambaan secara konsisten. Oleh karena Itu,  Tuhan Yesus berkata: “Belajarlah kepada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan”(Matius 11:29).

3.   Pokok Utama Tugas Hamba

      Dalam kepemimpinan  kehambaan bagi hal yang primer bukanlah hanya tugas memimpin, tetapi kesigapan pemimpin hamba adalah hal primer. Pokok utama bagi seorang pemimpin kehambaan adalah memuliakan Allah dalam hal apapun melalui pikiran, ucapan dan tindakan. Hal primer tersebut  dijelaskan oleh John Stott sebagai berikut:

Jadi, bagi pengikut-pengikut Yesus, pemimpin itu tidak sinonim dengan menjadi tuan. Panggilan kita adalah untuk melayani, bukan untuk menguasai. Panggilan kita adalah menjadi hamba bukan menjadi raja. Memang benar, kepemimipinan mustahil tanpa otoritas tertentu. Tanpa itu siapapun tak bisa memimpin. Tidak terkecuali para Rasul. Mereka diberikan Yesus otoritas dan mereka menjalankan otoritas itu dalam mengajar dan mendidik ketaatan kepada gereja. Juga para pendeta jemaat masa kini, meskipun mereka bukan rasul dan tidak memiliki otoritas rasuli harus dihormati karena kedudukan mereka sebagai pemimpin jemaat (1 Tesalonika 5:12 dst). Bahkan harus ditaati (lbrani 13:17). Namun, titik berat yang diletakkan Yesus bukanlah atas otoritas pemimpin-penguasa, melainkan atas kerendahan hati pemimpin-hamba.


1 John Virgil, Kasih Kristus Fondasi Spritual Kepemimpinan Kristen, YAKI, 2003.

2 Edyted by: Zpiros Zodhiates, The Complete Words Study Old Testamen, USA: AMG Publisher, 1994.

3 John Virgil, Pengaruh Kekaguman Pengikut Terhadap Ciri Pemimpin, Gaya Kepemimpinan, Situasi Kepemimpinan, Iklim Kerja, YAKI, 2008.

 

 

 

KEPEMIMPINAN DARI PERSPEKTIF SEJARAH

Oktober 17, 2008

KEPEMIMPINAN DARI PERSPEKTIF SEJARAH

Karya Orijinal : Pdt.Dr. John Virgil, D.Th

Bahan Ajar di Fakultas Kepemimpinan

Hal yang menarik apabila berbicara perihal kepemimpinan adalah pengaruh. Pengaruh meliputi dua hal penting yakni: Ilmu (pengetahuan) dan Seni (ketrampilan).

Kepemimpinan adalah ilmu dan seni (hal ini sama dengan pengertian homiletika) dimana sebagai ilmu kepemimpinan menggunakan cara-cara ilmiah untuk memahami maksud dari kepemimpinan baik secara faktual (mengandung kebenaran), aktual (sesunguhnya), maupun kontekstual (situasi yang ada hubungannya dengan kejadian). Sedangkan sebagai seni, kepemimpinan sangat memperhatikan unsur-unsur estetika (kepekaan terhadap seni dan keindahan) dan sistematika  (susunan aturan) dan logika (jalan pikiran yang masuk akal).Dengan demikian dapat dikatakan kepemimpinan sebagai ilmu mencakup perihal pengetahuan tentang kepemimpinan dan seni mencakup perihal ketrampilan tentang kepemimpinan.                                    Telah dikatakan di atas bahwa kepemimpinan itu mencakup dua hal yakni ilmu dan seni. Dengan demikian sebagai ilmu dan seni, maka kepemimpinan itu terus berkembang. Hal yang menarik apabila berbicara perihal kepemimpinan tidak terlepas dari pemimpin itu sendiri, orang yang dipimpin, dan lingkungan dimana mereka berada. Namun dalam hal ini seorang pemimpin berperan penting dalam kepemimpinan.

MEMAHAMI KEPEMIMPINAN DALAM SEJARAH

Salah satu tema penting yang harus dikaji oleh manusia adalah mengamati dan meneliti dengan seksama tentang keadaan dunia yang modern ini secara kritis. Dunia tempat manusia hidup berada dalam keadaan krisis kepemimpinan secara komprehenshif. Tema-tema penting yang disimbolkan dalam aktivitas hidup manusia senantiasa merujuk pada tindakan-tindakan manusia yang cenderung melepaskan dirinya dari suasana kepemimpinan.

Manusia dan sesamanya dalam realitas sosial cenderung memposisikan diri sebagai ancaman bagi orang lain. Kenyataan ini termanifestasi pada perilaku-perilaku manusia dalam interaksi sosial yang ditunjukkan dalam beberapa peristiwa, seperti: pembunuhan, penipuan, penjarahan, korupsi, kolusi, nepotisme, pemerkosaan, pelacuran, dll.

Hal ini tentunya merupakan fenomena riil bahwa karena krisis kepemimpinan, akhirnya manusia terperanjat dalam perilaku-perilaku negatif yang menghancurkan manusia itu sendiri.                                  Dimensi penciptaan sejarah  mencatat bahwa sejak manusia pertama (Adam) diciptakan, Allah bertindak sebagai pemimpin untuk mengarahkan, menuntun, membimbing manusia pada jalan kebenaran yang telah ditetapkan dalam perintah-perintah-Nya.   

Akan tetapi Adam telah membuktikan dirinya untuk tidak taat kepada Allah. Adam atas  kehendaknya melepaskan diri dari suasana kepemimpinan. Sebagai akibat ketidaktaatannya kepada Allah, tidak mau diperintah oleh Allah, akhirnya Adam bertindak diluar kehendak Allah dengan melakukan kejahatan (Kejadian 3).

 Kenyataan ini tidak segera berakhir, dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia dan sesamanya, manusia tidak henti-hentinya melepaskan diri dari suasana kepemimpinan. Padahal kepemimpinan sangat berarti/berfungsi untuk memberikan ketertiban atau nilai-nilai hukum kepada manusia agar manusia bebas dari kejahatan.

Setelah Adam, generasi berikutnya, yakni Kain melakukan tindakan yang maknanya sama seperti yang dibuat oleh Adam walaupun versinya berbeda. Jika modus operandi yang ditampilkan oleh Adam adalah memanipulasi kehendak Allah, maka modus operandi yang ditampilkan oleh Kain adalah pembunuhan. Begitu pula yang dilakukan oleh kedua anak Lot, mereka memperdaya Lot dan tanpa diketahui olehnya, ia telah ditiduri oleh kedua anaknya tersebut (Kejadian 19:30-38).   

Situasi seperti ini terus berlangsung dalam kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun kelompok dalam lingkup kemasyarakatan. Hal tersebut terlihat jelas seperti yang  terjadi  pada Yusuf. Oleh karena  perasaan  iri hati yang  terdalam pada saudara-saudaranya, mereka terpaksa menjualnya. Mereka menyangkal bahwa Yusuf adalah bagian integral dari keluarga tersebut dan tidak mau mengakui keunggulan-keunggulan yang ada pada Yusuf (Kejadian 37).

Dalam lingkup kebangsaan, kenyatan seperti ini terlihat sangat jelas seperti yang ditampilkan oleh  Firaun di Mesir. Firaun di Mesir senantiasa menjadikan dirinya sebagai ilah-ilah dunia yang harus disanjung, disembah oleh manusia yang menjadi warga Negara Mesir. Firaun di Mesir senantiasa tidak mengakui bahwa Allah yang disembah oleh para leluhur bangsa Israel adalah Allah yang hidup dan kepada-Nyalah manusia harus menyembah.

            Firaun berupaya memutarbalikkan fakta bahwa ia adalah wakil Allah, diijinkan Allah untuk memerintah atas segenap manusia untuk menjalankan pemerintahan Allah di dunia. Ia mengangkat diri sebagai ilah-ilah zaman bahkan dalam keberadaannya sebagai Firaun, ia menindas, melemparkan isu rasialisme sehinggga bangsa lain (orang-orang Yahudi) ditindas, bahkan hak-hak asasi manusia diabaikan. Firaun merupakan gambaran dari pemimpin yang tidak mau memberikan dirinya untuk dituntun oleh Allah  sehingga kebijakan-kebijakan yang dijalankan cenderung tidak menjadi berkat.

 

Selain itu kita juga melihat para ahli masa depan atau futurology moderen yang menganalisa gejala-gejala (phenomena) keadaan dan perkembangan yang sedang berlangsung sekarang ini dan menyajikan prediksi atau prakiraan tentang apa yang akan terjadi dimasa depan serta memberi saran-saran bagaimana seharusnya kita bertindak atau menyikapi tentang hal ini. Menurut para ahli dari barat ini seakan-akan kita tidak ada yang tersembunyi lagi, atau tidak ada lagi misteri masa depan, karena telah dianalisa  atau diuraikan gejala-gejala, tanda-tanda, serta perubahan-perubahan yang sedang terjadi, yang menunjukkan bagaimana wujud dan keadaan masa depan itu. Dengan demikian kita dapat mengantisipasi dan menyiapkan diri menghadapi masa depan, dalam perubahan millennium

Sebagai orang yang beriman kristiani, tentu kita tidak dapat seratus persen atau secara mutlak mengatakan bahwa masa depan itu akan ‘begini dan begitu’ kita percaya bahwa Tuhan Allah kita adalah Allah sang pencipta, Allah yang hidup, yang tidak saja menciptakan dunia serta isinya  lalu lepas tangan, lepas tanggung jawab, menyerahkan tangung jawab atau ‘kreasi’atau penciptaan itu pada jalannya “hukum alam” tidak!

Kita percaya bahwa Tuhan, Sang Pencipta langit dan bumi serta segala isinya adalah juga Tuhan sejarah, Allah masih perduli pada penciptaa-Nya, Allah tetap bertindak dalam sejarah umat manusia hingga saat ini. Tuhan masih bekerja ditengah dunia, diantara makluk ciptaa-Nya, melalui roh-Nya yang kudus. Kita adalah makhuk yang diciptakan oleh Tuhan ”Menurut gambar Allah” (Kejadian 1:1) atau “hampir sama seperti Allah” (Mazmur 8:6). Namun, realita kehidupan manusia membuktikan secata telak bahwa: “kehidupan manusia” jauh sekali dari pada yang dimaksudkan oleh “karya penciptaan” yang dilihat Allah sebagai sungguh amat baik (Kejadian 1:31).

 

Sebagai orang beriman, sebagai umat kristiani, kita percaya pada kesaksian Alkitab  yang menyatakan bahwa Allah  berkenan memilih umat Israel sebagai umat pilihan untuk menjadi sarana penebusan-Nya, mengembalikan umat manusia kejalan yang benar. Kitapun percaya pada kesaksian Alkitab, bahwa umat Israel ternyata telah gagal dalam peran dan tugas yang telah diberikan Tuhan Allah, sehingga Tuhan sendiri berkenan untuk datang ke dalam dunia: Firman itu telah menjadi manusia, dan diam diantara kita.”kai ho logos sarx egeneto” (Yohanes 1:14) . Tuhan Allah sendiri bersedia menangung koksekwensi dari “kasih-Nya”, yakni menangung akibat atau “resiko” dari karya penyelamatan-Nya itu.

Tuhan Allah kita di dalam Tuhan Yesus Kristus telah mengintervensi dunia ini, telah ”melibatkan diri” secara proaktif dalam sejarah manusia untuk memberikan jalan keselamatan itu, sekaligus untuk selamanya, dan sekali untuk semuanya ”Once,forever and for all.”

Kita percaya bahwa dalam membuat manusia secara khusus itu Tuhan Allah mempunyai maksud  yang khusus pula, yakni untuk dilibatkan  dalam karya penyelamatan-Nya dalam kehadiran dan misi penyelamatanya ini Allah berkenan memakai dan bekerja sama dengan manusia, dengan Maria ibu Yesus, dan Yusuf sebagai suami Maria, dan dengan Yesus sebagai inkarnasi dari Allah sendiri, juga dengan para rasul dan dengan murit-murid Tuhan Yesus lain-Nya.

Demikian juga dengan semua umatnya, umat pilihan-Nya, Tuhan Allah berkehendak untuk melibatkan mereka sebagai ”kawan sekerja” atau patner kerja-Nya. Alkitab banyak mengisahkan bagaimana Tuhan Allah melibatkan manusia dalam karya kasih-Nya. Allah berkenan memilih mereka yang akan memimpin umat manusia kembali kejalan yang benar sejak Abraham, Musa,Yosua, Yesaya,Yeremia dan para nabi yang lain, juga para hakim, bahkan para raja dalam Perjanjian Lama.

Demikian juga halnya dalam Alkitab Perjanjian Baru dan seterusnya di dalam sejarah gereja para pemimpin umat Kristen  diajak bekerja sama oleh Tuhan Allah dalam karya Tuhan. Bahkan sepanjang sejarah umat manusia, Allah selalu berkenan melibatkan manusia, yakni dengan jalan memilih diantara mereka orang-orang yang akan diserahi untuk memimpin umatnya dan hal ini terus terjadi atau berlangsung hingga kini.  

Allah sebagai sang pencipta, khalik langit dan bumi, Adalah Allah yang perduli pada pencipta-Nya, oleh karena itu Tuhan kita kenal sebagai Tuhan yang maha kasih  tidak membiarkan saja kerusakan atau kehancuran terjadi atau terjadi pada karya ciptaa-Nya yang dikasihi. Karena kasih-Nya maka Allah berkenang untuk memulihkan atau mengembalikan ciptaan-Nya menjadi utuh kembali, menjadi ’amat baik’ lagi. Namun cara Tuhan menyempurnakan kembali ciptaa-Nya  rupa-rupanya tidak sama dengan penciptaan alam semesta, yang merupakan suatu ‘Creation ex nighilo’ , yakni penciptaan dari ketiadaan, karena Tuhan inggin secara khusus pula, yakni yang kepadanya Allah telah menghembuskan ”nafas hidup”, atau yang kepadanya Allah telah memberi  “nafas kehidupan” (Kejadian 2:7).Allah menghendaki manusia sebagai “kawan sekerja Allah”. Tuhan Allah inggin melibatkan umat manusia dalam karya penyelamatan-Nya. Allah tidak berkenan untuk bekerja sendirian (meskipun dalam ketrinitasannya) melainkan berkenan memanggil umatnya, yang dipilih-Nya, umat yang disendirikan-Nya, umat yang dikuduskan-Nya, agar menjadi sarana untuk menyelamatkan seluruh ciptaanya untuk mengembalikan keutuhan ciptaan-Nya.

Setelah diamati dengan seksama tentang kenyataan di atas, jika disorot dalam relevansi kenyataan dunia kini dalam kacamata kepemimpinan, keadaan dunia sekarang cenderung tidak jauh berbeda dengan apa yang disaksikan oleh Alkitab pada masa lalu.Hampir seluruh pemimpin cenderung tidak memberikan dirinya untuk dipimpin oleh Allah. Kenyataan inilah yang menunjukkan bahwa manusia berpotensi untuk melakukan kejahatan.

 

Tanda-tanda pergantian millennium menurut berbagai ahli adalah terjadinya peristiwa-peristiwa yang bersifat catastrophic (kekacauan, kerusuhan, dsb) yang melanda seluruh dunia atau bagian dunia.Banyak terjadi konflik dengan kekerasan seperti peperangan antar bangsa atau antar etnik, pertikaian bersenjata, perang saudara dan bencana alam seperti kebakaran hutan, badai, topan, banjir, hama dan kecelakaan-kecelakaan baik di darat, laut maupun di udara. Hal ini dapat dibaca setiap hari dikoran dan majalah, didengar melalui radio dan dilihat melalui televisi.